Hukum
Mengangkat Pemimpin Non Muslim
Dalam
Al-Quran, Allah berfirman,
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
walî dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan
yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (Al-Nisa’: 114).
Kebanyakan
orang pada umumnya menginterpretasikan ayat tersebut sebagai larangan mutlak
bagi non muslim untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Tentunya kata pemimpin
yang dimaksud yakni pemimpin di semua jenjang seperti ketua RT, kepala desa,
kepala daerah, gubernur, hingga presiden. Namun apakah benar seperti itu makna
yang ingin disampaikan ayat tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
sebaiknya kita ekstrak dulu terma kafir
pada teks di atas, sehingga dapat kita temukan hukum mengangkat pemimpin non muslim.
Makna kafir secara grammatical
Kata
kafir dalam bahasa Arab (lihat al-Munjid, misalnya) berasal dari kata ka-fa-ra yang berarti ‘menutupi’. Di
dalam Al-Quran, misalnya, petani disebut kuffâr
(orang-orang “kafir”) karena mereka menggali tanah, menanam bebijian, lalu
menutupnya kembali dengan urukan tanah (Al-Hadid: 20). Kata ini pula yang
kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi kata to cover.
Adapun
secara terminologis, kafir dapat dipahami sebagai penyangkalan atas kebenaran
atau menolak kebenaran, dalam Islam Iblis disebut kafir lantaran menolak
kebenaran yang secara sadar ia pahami bahwa sesuatu yang ia tolak merupakan
sebuah kebenaran murni. Namun, bukan berarti non muslim yang menolak kebenaran
(Islam) lantas dapat disematkan dengan kata-kata kafir. Kenapa? Menurut beberapa
ulama salaf dan kontemporer, adanya keharusan pemilikan pengetahuan, yakni
pengetahuan yang benar dan meyakinkan, sebelum seseorang dapat dikatagorikan
sebagai kafir ketika mengingkarinya. begitupun jika seseoran menolak islam
karena kesombonganya, padahal sudah jelas kebenaran islam baginya, penolakan
seperti inilah yang dapat dikatagorikan sebagai bentuk kekafiran. Lantas,
apakah non muslim adalah kafir?
imam
Ghazali juga memiliki pandangan yang serupa. Menurutnya, dakwah atau syiar
Islam yang tidak sampai kepada non muslim maka ia tidak dapat disebut kafir.
katagori ini termasuk kepada mereka yang tidak pernah mendengar Islam, atau
bahkan Islam tidak sampai kepada mereka dalam bentuk argumentasi logis.
sebaliknya, bisa jadi ada kabar-kabar keliru mengenai Islam yang justru mereka
terima sehingga citra Islam di mata mereka menjadi buruk.
sementara
menurut Ibn Taymiyah dalam Majmu Fatawa, tidak boleh mengkafirkan seseorang
sampai tegak kepadanya argumentasi yang meyakinkan. Pasalnya, boleh jadi orang
tersebut belum pernah mendengar teks-teks tentang Islam. Celakanya, bisa jadi
teks yang didengarnya adalah teks yang keliru namun populis. Padahal, ada
beberapa teks dalam Al-quran yang tidak dapat dipahami secara lahiriah terlebih
pemahaman tekstual, teks yang semacam ini hanya bisa dipahami melalui metode takwil. Sehingga pembahasan hukum
mengangkat pemimpin non muslim tidak bisa dipahami secara tekstual.
Kafir lebih menekankan aspek moril
ketimbang teologis
Nabi
Muhammad saw bersabda :
“Tidak
termasuk orang yang beriman, siapa saja yang kenyang sedangkan tetangganya
dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan
hadis Nabi di atas, jelas keimanan dikaitkan dengan kesadaran dan kepedulian
sosial. keimanan bukanlah semata mata keyakinan yang bersemayam dalam hati.
bahkan, prilaku acuh dan tidak peduli kepada kesusahan orang lain secara tegas
dinyatakan sebagai prilaku tidak beriman. Dengan demikian, sejatinya keimanan
dalam Al-quran sebenarnya lebih banyak memberi penekanan kepada aspek moril
manusia. Sebab, banyak orang yang mengaku beriman karena merasa sudah
melaksanakan solat 5 waktu, naik haji, sedekah, namun tidak menjalin hubungan
sosial yang baik dengan sesame manusia dan acap kali acuh terhadap kondisi
saudaranya yang sedang kesusahan. Kafir sejatinya adalah prilaku jahat,
sehingga sifat kafir bisa menghinggapi siapa saja, baik non muslim ataupun
muslim itu sendiri. Lantas, apakah boleh hukum mengangkat pemimpin non muslim? Mari
simak pemabahasan selanjutnya.
Bukan Negara Islam
Dalam
UUD 1945 tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan keislaman Negara Indonesia.
Berbeda dengan Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab Saudi dan Suriah yang
mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara, sehingga seluruh
peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran Islam.
Dulu,
sewaktu BPUPKI membahas rancangan Konstitusi, memang sempat muncul dalam
Pembukaan UUD kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pengikut-pengikutnya”, dan dalam batang tubuh UUD ada pasal yang berbunyi
“Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, namun kata-kata itu
kemudian dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Presiden ialah orang
Indonesia asli. Para Pendiri Republik ini sepakat bahwa Indonesia bukan Negara
Islam.
Ketika
UUD dibahas kembali oleh Konstituante hasil Pemilu 1955, mereka gagal menyusun
Konstitusi baru, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk
kembali ke UUD 1945. Amandemen UUD yang dilakukan MPR hasil Pemilu 1999 juga
tidak mengubah Indonesia menjadi Negara Islam.
Dengan
demikian, Negara kita bukan merupakan Negara Islam. Negara Indonesia
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui keberadaan agama Kristen,
Katholik, Hindu dan Budha, selain agama Islam. Di mata Negara, kedudukan semua
pemeluk agama sama dan mempunyai hak yang sama, termasuk hak memilih dan hak
dipilih. Hal ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang menyatakan “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…” dan Pasal
28D Ayat 3 yang menyatakan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan”.
Dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh warga Negara harus
mengedepankan ayat-ayat Konstitusi daripada ayat-ayat Kitab Suci. Konstitusi
adalah kesepakatan dan konsensus yang dibuat oleh seluruh warga Negara, yang
diwakili oleh wakil-wakilnya di MPR. Karena itu wajib hukumnya, bagi seluruh
warga Negara untuk menaati dan mematuhinya.
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas, non muslim yang tulus dan memilih dan meyakini keyakinanya
tidak dapat diberikan atribusi kafir. yakni menutupi keyakinan akan kebenaran.
(Murtadha Muthahhari dalam Keadilan Ilahi, menyebut orang-orang non-Muslim
seperti ini sebagai orang-orang Muslim Fitri (muslimûn bil-fithrah). Yakni
orang-orang yang secara nominal bukan Muslim, tetapi ada hakikatnya
berserah-diri (aslama) kepada kebenaran (Tuhan).
Adapun
larangan untuk menjadikan pemimpin dari kalangan non muslim dalam ayat di atas,
adalah pemimimpin dalam hubungan vertical dengan Tuhan bukan dalam status
horizontal dengan sesame manusia. Jelas bahwa umat islam tidak boleh mengangkat
pemipim keagamaan di luar agama Islam, jnamun dalam wilayah sosial antar sesama
manusia seorang non muslim dapat dijadikan pemimpin, asalkan dia bukanlah
seseorang yang memusuhi Islam dan tidak kafir dalam artian jahat dan tidak
amanah. Jadi, hukum mengangkat pemimpin non muslim adalah legal selama pemimpin
yang dimaksud adalah pemimpin dalam domain Negara bukan dalam wilayah
keagamaan.
Referensi
:
- http://politik.kompasiana.com/2012/09/12/al-quran-membolehkan-pilih-pemimpin-non-muslim- 492673.html
- http://haidarbagir.com/non-muslim-identik-dengan-kafir